Perti di Tarandam, Gajah Mati membuka filialnya



Hawa dingin negeri penghasil gula tebu ini tidak menghalangi kaum bapak keluar rumah pergi ke masjid atau surau mendengar dakwah para mubaligh yang silih berganti diundang Setidaknya mereka menghangatkan badan dengan mem- balut tubuh dengan kain sarung, dan berkupiah sebo.

Bila malam kelam, mereka pakai suluh (obor).

Nyaris tak ada yang punya senter.

Bila hujan dan tidak punya payung, daun pisang sepelepah pun jadi payung.

Tabligh biasa dimulai pukul 19.30 dan selesai sekitar pukul 22.00 Tabligh kaum wanita-mubalighnya sama dengan malam sebelumnya, dimulai pukul 9.00 pagi dan selesai sebelum salat zuhur.

Sekali sebulan ketiganya gabung bergantian melak- sanakan tabligh, disebut tabligh akbar Bisa saja pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi Besar Muhammad, atau pada peringatan Isra' dan Mi'raj.

Sebagai ilustrasi tabligh, musik ikut memeriahkan.

Instru- men musik didominasi seruling bambu, genderang, tambur, dan terompet.

Hari Senin-nya, waktu pasar di negeri ini dipasang maklumat di papan tulis, dan dipajang di tempat-tempat yang mudah dilihat khalayak.

Adakalanya disebar melalui pamflet dengan menyewa bendi keliling kampung.

Orang-orang pada berebut mendapatkan selebaran Mubaligh atau buya yang diundang tidaklah parlente, kendati beliau-beliau itu karismatik, dan penuh wibawa.

Kajinya didengar dengan seksama.

Nyaris tidak ada yang melucu, tapi sejuk.

Saya pernah mendengar dialog seorang utusan untuk mengundang seorang mubaligh tua dari Bukittinggi.

Rasanya beliau itu Syekh Ibrahim Moesa, yang akrab disapa Inyialk Parabek.

Beliau tidak usah dijemput.

Cukup naik bus saja.

Sejak setengah abad belakangan semuanya itu tinggal kenangan.

Wirid pengajian tidak ramai lagi.

Perti di Tarandam, Gajah Mati membuka filialnya

Kalaupun ada, cilaksanakan paling-paling sekali setahun.

Namun, tidak semeriah dulu.

Bermain, Sekolah, dan Mengaji sebagainya.

Hingga apabila beliau pulang, semua pekerjaan sudah beres termasuk menyediakan piring cangkir yang bersih.

Kami makan lahap setelah kerja keras.

Saya diajar memasak sejak usia enam tahun.

SEKOLAH DESA DAN SEKOLAH AGAMA Sebelum masuk Sekolah Desa saya cuma ikut-ikutan mengaji ke surau belajar juz Amma.

Setelah masuk sekolah rendah itu pendidikan dikembarkan dengan sekolah agama.

Pagi sekolah umum, sore dari pukul 14.00 sampai pukul 17.00 sekolah agama Ibtidaiyah Muhammadiyah di Pasar Lawang.

Di Ketaping terdapat dua madrasah.

Perguruan Islam milik Permi yang kemudian berafliasi ke PSII 10, satu lagi Tarbiyah milik Perti.

11 Pagi anak-anak sebondong menuju ke Sekolah Desa satu- satunya di Lawang.

Zuhur berkompetisi ke madrasah masing- masing.

Di Lawang ada tiga organisasi.

Perti di Tarandam, Gajah Mati membuka filialnya

Muhammadiyah, PSII, yang punya madrasah sendiri-sendiri.

Belakangan di Batu Basa, Muhammadiyah membangun madrasahnya pula.

Perti di Tarandam, Gajah Mati membuka filialnya.

Tiap madrasah punya murid yang ramai dengan guru-guru lengkap Perti, dan penuh disiplin.

daiyah MENYAMBUT GOUVERNOUR GENERAL Seiring tamat Sekolah Desa, tamat pula tiga tahun Ibti- SAYA masuk sekolah dalam usia kurang lebih tujuh tahun.

Walau secara harfiah Volkschool berarti Sekolah Rakyat tetapi orang kampung menyebutnya Sekolah Desa.

Terdiri tiga kelas dari Kelas I sampai Kelas III.

Di sini, yang belajar hanya murid lelaki.

Murid perempuan di pinggir lapangan sepakbola lebih i Setelah Permi tak aktif lagi karena para pemimpinnya dibuang, maka Sekolah Ibtidaiyah di Ketaping, Lawang, berafiliasi ke PSI Perti adalah partai "kaum tua" di Sumatra Barat seperti NU di Jawa Semula hanya merupakan suatu lem Syekh Sulalman Ar-Rasuli (Inmyik Candung), sedangkan politisinya yang terkemuka antara lain adalah H.

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Box : Resep Steak Lada ala Meksiko

Karena sifatnya yang radikal

Catering Jogja Murah : Saus Makanan Penutup Buah Pedas Kering